KEBENARAN
NON ILMIAH
BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin
tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Dalam memperoleh
pengetahuan berbagai macam cara dilakukan manusia, dengan jalan
mengomunikasikan informasi, serta berfikir terhadap informasi yang didapat.
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan
mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang
suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar
akal. Persoalannya kemudian apakah gambaran itu sesui dengan fakta atau tidak?
Apakah gambaran itu benar? Atau apakah
gambaran itu dekat pada kebenaran atau
jauh dari kebenaran?
Adapun dalam memperoleh pengetahuan
terdapat teori kebenaran, yang mana suatu anggapan / penilaian terhadap suatu
realita / kejadian yang ada. Dalam kebenran ini terdapat dua macam teori, yaitu
; kebenaran ilmiah, dan kebenaran non ilmiah. Dan kebenaran non ilmiah inilaah
yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. TEORI DALAM KEBENARAN NON ILMIAH
2.1.a.
PENGETAHUAN BIASA / ILMIAH (REALISME)
Penganut teori ini disebut dengan
realisme. Teori ini mempunyai pandangan realitas terhadap alam. Pengetahuan
menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebnarnya dari apa yang ada
dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada
dalam akal adalah kopi yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya
seperti gambaran yang terdapat dlam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat
bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan.[1]
Ajaran realisme percaya bahwa dengan
sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang
dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
Contohnya, fakta menunjukkan, sustu meja tetap sebagaimana adanya, kendati
tidak adanorang didalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak
tergantung kepada gagasan kit mengenainya, tetapi tergantung pada meja
tersebut.[2]
2.1.b. WAHYU
Wahyu adalah pengetahuan yang
disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi
memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan
waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan
semseta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka
untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[3]
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan
kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia
lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan,
karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu
mengusahakannya, karena hal itu diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak
ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi. [4]
Wahyu Allah (agama) berisikan
pengetahuan, baik mengenai kehiduan sesorang yang terjangkau oleh pengalaman,
maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan
penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik
tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau
menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu
dimulai mengkaji dan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada
kebenaran yang faktual.[5]
2.1.c. MITOS /
KEYAKINAN
Mitos, legenda / dongeng. Kebenarannya
berlaku dimasyarakatnya.
·
Mitos tidak menghadapi realitas, misal;
ruwatan, petung, sesaji, dianggap symbol yang dapat menghindari malapetaka.
·
Mitos efektif sebagai alat komunikasi
massa
·
Mitos mendorong perbuatan, * roro kidul
dan grebeg.[6]
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada
diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber
pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakn. Adapun
keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari
kepercayaan.[7]
2.1.d MISTIK / SPIRITUAL
Mistik atau disebut juga dengan
spiritual adalah teori yang masuk dalam supra-rasional, kadang memiliki bukti
empiris, tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Spiritualisme adalah ajaran yang
menytakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nus, Reason, logos)
yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiriualisme dalam arti
ini dilawankan dengan materialisme.
Spiritualisme kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistik yang menyatakan
adanya roh mutlak. Dunia indera dalam pengertian ini dipandang sebagai dunia
idea.[8]
2.1.e INTUISI
Menurut Henry Bergson intuisi adalah
hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan
insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampun
ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah
suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Menurutnya, intuisi mengatasi sifat
lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis,
menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena
itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat
menggantikan hasil pengenalan intuisi.[9]
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan. Sebaga dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka ituisi
tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai
hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan
yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling
membantu dalam menentukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan
pengalaman puncak (peak experience)[10]
sedangkan bagi Nietzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi.[11]
BAB
IV
KESIMPULAN
/ PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis menarik kesimpulan bahwa ;
Dalam Kebenaran Non Ilmiah
terdapat teori-teori didalamnya, yakni ; Pengetahuan alamiah/biasa
(realisme) yang mempunyai pandangan realitas terhadap alam, wahyu
(Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehiduan
sesorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah
transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan
segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti), Mitos
(kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan), Mistik
(teori yang masuk dalam supra-rasional, kadang memiliki bukti empiris, tetapi
kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris), dan Intuisi
(mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat
analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara
simbolis).
DAFTAR
PUSTAKA
1. Bakhtiar
Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos, 1997, cet. I.
2. O.
Kattsoft Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara wicana, 1996,
cet. VII.
3. Bakhtiar
Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004, edisi revisi.
4. Mustafa
H.A., Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997, cet.1.
5. Suhesti
Ermi Hj., Handout Filsafat Ilmu,Yogyakarta:Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Sunan Kalijaga, 2011.
6. Adib
Muhammad H., Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011, cet. II
7. Tim
Dosen, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Lyberty, 2010, cet. Kelima.
8. M.Honer
Stanley dan C. Hunt Thomas, Invitation to Philosophy,Belmont,
Cal:Wadswrth, 1968.
9. Suriasumantri
Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2007, cet. Kedua
puluh.
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta : Logo, 1997), cet. I, hlm. 38.
[2]
Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara wicana,
1996), cet. VII, hlm. 114.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004),
edisi revisi, hlm. 109-110.
[4]
H.A. Mustafa, Filsafat Islam, (bandung : Pustaka Setia, 1997), cet.1,
hlm. 106.
[5]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004),
edisi revisi, hlm. 110.
[6]
Hj. Ermi Suhesti, Handout Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 12.
[7]
H. Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011),
cet. II, hlm. 26.
[8]
Tim Dosen, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Lyberty, 2010), cet. Kelima, hlm. 35.
[9]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004),
edisi revisi, hlm. 107 – 108.
[10]
Dikutip dalam Stanley M.Honer dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy
(Belmont, Cal:Wadswrth, 1968), hlm. 72
[11]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, ( Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,
2007), cet. Kedua puluh, hlm. 53
No comments:
Post a Comment