Menjaga Konsistensi Aturan Konstitusi:
PENDAHULUAN
Ide
konstitusionalisme (constitutionalism)
adalah gagasan bahwa negara (government)
bisa dan harus dibatasi kekuasaannya dengan menetapkan kerangka aturan main
dalam suatu bentuk peraturan yang memiliki kasta paling tinggi. Konstitusi atau
Undang-Undang Dasar didaulat menjadi aturan tertinggi dalam suatu negara (the supreme law of the land). Konstitusi
menjadi dasar acuan utama yang membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara
dengan menetapkan kewenangan dan tugas dari tiap-tiap lembaga negara serta
mengatur tentang hubungan tata kerja antar lembaga negara tersebut. Dalam
konstruksi klasik pembagian kewenangan lembaga negara, maka yang biasa mengemuka
adalah teori Trias Politica. Teori
yang dicetuskan oleh Montesquieu ini menjadi acuan, atau paling tidak sebagai
pembanding, atas penerapan pembagian kekuasaan dan hubungan lembaga negara
dalam praktek kenegaraaan di berbagai negara, meskipun sekarang banyak variasi
yang muncul dari teori klasik ini. Namun, ide konstitusionalisme tidak lantas
diasosiasikan dengan Montesquieu sebagai pencetus awalnya. Tidak ada literatur
yang menyebutkan dengan pasti siapa pencetus awal gagasan konstitusionalisme
ini. Namun, banyak kalangan menyebut John Locke dan founding fathers Amerika Serikat sebagai mereka yang menggagas dan
menerapkan ide konstitusionalisme ini.[1]
Lalu,
apa kaitannya konstitusionalisme dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan konsistensi konstitusional? Tulisan ini
akan memaparkan keterkaitan antara 3 (tiga) konsep tersebut dengan memaparkan mengenai konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya UUD 1945) dan fungsi MK
sebagai penafsir dan penjaga konstitusi melalui pelaksanaan kewenangan dan
kewajibannya.
KONSTITUSI,
KONSTITUSIONALISME DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Sejatinya,
dalam surat permohonan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengajukan topik
diskusi dengan judul “Konsistensi Konstitusional untuk Menegakkan Supremasi
Hukum dalam Rangka Ketahanan Nasional”.[2]
Berangkat dari frasa “konsistensi konstitusional”, tertangkap sebuah konsep
besar yang selaras dengan gagasan konstitusionalisme, sebagaimana telah dibahas
sedikit dalam pendahuluan. Secara implisit, maksud dari frase “konsistensi
konstitusional” yang diajukan oleh Lemhannas ini adalah bahwa peraturan
perundang-undangan dan praktek ketatanegaraan haruslah selaras dengan
aturan-aturan konstitusi. Setiap lembaga negara, terutama pemerintah, harus dibatasi
kekuasaannya dengan menetapkan tugas dan kewenangannya dalam koridor
konstitusional. UUD menjadi cermin yang merefleksikan bagaimana susunan dan
kedudukan lembaga-lembaga negara itu ditata serta bagaimana ketentuan-ketentuan
pada peraturan perundang-undangan taat asas dengan UUD.
Konstitusi Indonesia memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan itu lahir dari uniknya Indonesia yang memiliki karakter Pancasila
sebagai jati diri dan cara pandang terhadap bangsa. Konstitusi memegang peranan yang
lebih bersifat ideologis dengan mengekspresikan nilai-nilai dan jati diri
kebangsaan suatu bangsa, secara tersurat maupun tersirat. Bagi Indonesia, nilai-nilai bersama dan jati diri
khusus dari bangsa Indonesia adalah Pancasila. Soekarno mendeskripsikan Pancasila sebagai
“…
satu Weltanschauung, satu dasar
falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu, yang saya yakin
seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat
bersatu padu diatas daras Pancasila itu. …Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang
sendiri, mempunyai karakter sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai
individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam
pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan
lain sebagainya.” (Soekarno, 1958)
Perumusan nilai-nilai Pancasila
sehingga menjadi ideologi
bangsa digali dari pribadi dan jati diri bangsa. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 dan menjiwai seluruh norma yang terdapat dalam batang
tubuh konstitusi. Pancasila adalah roh dari konstitusi dan segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
UUD 1945, yang didalamnya terkandung nilai-nilai
Pancasila, memiliki gagasan konstitusionalisme yang sangat kuat terbaca dalam tiap-tiap pasalnya. Yang paling utama adalah
pernyataan eksplisit pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Selain itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan ketentuan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebelum
Perubahan UUD,
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan
konstitusional ini memberi mandat penuh kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat secara penuh. Dengan demikian, MPR
menjelma menjadi super parliamentary body yang menentukan arah kebijakan dan
haluan negara. MPR juga diberikan kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar
haluan negara (GBHN) yang berisikan program kerja pemerintahan dan lembaga
negara selama 5 (lima) tahun atau satu periode kekuasaan pemerintah.[3] Secara
tidak langsung, MPR dikala itu dapat dikatakan sebagai lembaga yang paling
berwenang untuk menafsirkan UUD melalui penetapan GBHN dan ketetapan-ketetapan
MPR lainnya. Performa lembaga-lembaga negara diukur dari tingkat efektifitas
lembaga tersebut menjalankan GBHN.
Bahkan, Penjelasan UUD mengatur secara khusus hubungan antara MPR dengan
Presiden dengan menyebutkan bahwa “… Presiden harus menjalankan haluan negara
menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.”[4]
Perubahan
UUD 1945 membawa dampak signifikan bagi rancang-bangun sistem ketatanegaraan
Indonesia. Gagasan konstitusionalisme makin kuat terpolakan dalam Perubahan UUD dengan pembatasan kekuasaan
pemerintah dan pengaturan pola hubungan antar lembaga negara. Keberadaan model
lembaga tertinggi negara tidak lagi dianut sehingga kewenangan MPR terpangkas.
Model hubungan kelembagaan yang bersifat “horizontal fungsional” adalah yang
dipilih dengan adanya perubahan UUD 1945. Dengan demikian, mekanisme saling
mengawasi dan dalam kedudukan yang setimbang
(checks and balances mechanism) lebih
ditekankan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Masing-masing lembaga negara
diberi mandat konstitusional akan tugas dan kewenangannya. Mekanisme saling
keterhubungan antar lembaga negara untuk menjalankan mekanisme pengawasan pun
diatur lebih rigid.
Misalnya, keterhubungan antara DPR dan Presiden dalam pola penyusunan Undang-undang
telah diatur sedemikian rupa dalam mekanisme konstitusional yang tercantum
dalam pasal-pasal UUD.[5]
Lembaga-lembaga
negara baru (yaitu: Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi
Yudisial), sebagai imbas dari adanya Perubahan UUD 1945, dibentuk. Keberadaan
lembaga-lembaga negara ini adalah untuk mengakomodir penerapan pola sistem
ketatanegaraan yang baru.
Pembentukan
Mahkamah Konstitusi, sendiri, pada awalnya berangkat dari semangat para anggota
MPR untuk menyusun proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya (impeachment/pemakzulan)
agar melalui forum hukum terlebih dahulu dan tidak hanya dihakimi dalam forum
politik, layaknya yang terjadi pada proses pemakzulan sebelum Perubahan UUD
1945 (contoh kasus: pemberhentian Presiden
Abdurahman Wahid). Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar”. Selain menjadi lembaga yang menghakimi pendapat
DPR atas pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden, MK juga diberikan
kewenangan lainnya yaitu : (i) menguji Undang-Undang terhadap UUD; (ii) memutus
sengketa kewenangan lembaga negara; (iii) memutus pembubaran partai politik;
dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan dan kewajiban konstitusional MK tersebut adalah untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan
tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi. Berikut ini akan diuraikan
satu persatu kewenangan dan kewajiban konstitusional dikaitkan dengan maksud
dari pelaksanaan kewenangan dan kewajiban tersebut dengan peranan MK sebagai
penjaga Konstitusi (the Guardian of the
Constitution).
a.
Pengujian
UU terhadap UUD
Pengujian undang-undang dimaksudkan untuk menjaga
agar undang-undang yang dibuat oleh parlemen dan pelaksanaannya oleh pemerintah
tidak menyimpang dari nilai-nilai konstitusional dan melanggar hak-hak
konstitusional warga negara. Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, lembaga legislatif berfungsi sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Namun, layaknya sebuah sistem demokrasi, lembaga legislatif tidak
mutlak mencerminkan kehendak rakyat secara keseluruhan. Suara mayoritas
sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif
sehingga tidak jarang bila suara mayoritas dapat merugikan hak-hak
konstitusional warga negara, terutama dari kelompok minoritas. Dengan adanya
pengujian Undang-undang terhadap UUD maka dimungkinkan adanya mekanisme untuk
menjaga agar nilai-nilai konstitusional tidak terlanggar oleh adanya aturan
undang-undang yang dihasilkan dengan keputusan suara mayoritas.
Dimandatkannya
kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD dimaksudkan bahwa MK berperan sebagai penyeimbang bilamana suara mayoritas dalam
parlemen mencerminkan dominasi kepentingan dalam pengambilan keputusan
pembentukan UU. Kelompok-kelompok minoritas yang aspirasinya tidak tertampung
dalam pembentukan UU, kemungkinan akan diperparah dengan terpinggirkannya
kelompok minoritas tersebut dengan berlakunya UU. Oleh karenanya, kelompok
minoritas itu menderita “kerugian konstitusional”. UU MK (UU nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi) menyebutkan pihak-pihak yang berhak menjadi
pemohon dalam perkara pengujian UU terhadap UUD mencerminkan keterwakilan
golongan minoritas.[6]
Tentunya, terdapat
perdebatan panjang mengenai bagaimana suara 9 (sembilan) orang hakim konstitusi
dapat membatalkan ketentuan yang telah disepakati bersama oleh Presiden dan DPR
serta telah melalui proses persetujuan oleh sidang pleno DPR yang beranggotakan
kurang lebih 500 orang. Perdebatan ini setidaknya berkutat tentang prinsip mana
yang lebih dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu antara prinsip
nomokrasi (kedaulatan nilai) yang diwakili oleh MK dengan prinsip demokrasi
(kedaulatan rakyat) yang diwakili oleh parlemen. MK dalam putusan nomor
41/PHPU.D-VI/2008 tentang Permohonan Keberatan atas Keputusan KPU Provinsi Jawa
Timur Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 11 November tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 berpendapat
:
“…asas kedaulatan rakyat (demokrasi) selalu dikaitkan dengan asas negara
hukum (nomokrasi) sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sebagai konsekuensi logisnya, demokrasi tidak dapat dilakukan berdasarkan
pergulatan kekuatan-kekuatan politik an sich, tetapi juga harus dapat
dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang
diperoleh secara demokratis (kehendak suara terbanyak) semata-mata, dapat dibatalkan oleh pengadilan jika di dalamnya
terdapat pelanggaran terhadap nomokrasi (prinsip-prinsip hukum) yang bisa
dibuktikan secara sah di pengadilan.”
Prinsip lembaga peradilan
yang bersifat pasif harus tetap dijunjung oleh MK. Para pencari keadilan-lah
yang pro-aktif memohon kepada MK untuk mengadili suatu ketentuan UU yang
dianggap telah melanggar hak konstitusional pencari keadilan itu. Dan karena
sifat UU adalah erga omnes (berlaku
untuk semua) maka pembatalan atas suatu ketentuan UU oleh MK, meski diajukan
oleh golongan minoritas bahkan perorangan, juga bersifat erga omnes. Sebagai contoh adalah putusan MK mengenai pembatalan
ketentuan persyaratan yang melarang mantan anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI) untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD.[7] Perkara ini
diajukan oleh perorangan warga negara yang kesemuanya berjumlah 28 orang.
Meskipun MK berpendapat bahwa hanya 13 dari 28 orang pemohon yang memenuhi
kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan perkara ini, namun putusan MK yang bersifat erga omnes tidak hanya mengikat 13 orang
pemohon yang memenuhi legal standing.
Putusan MK yang membatalkan ketentuan UU mengenai pelarangan mantan anggota PKI
untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD berlaku untuk semua orang dan mengikat
sejak putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka.
Secara teoritis, tiap
putusan lembaga peradilan harus dihormati dan dijalankan. Meskipun putusan
tersebut tidak terlepas dari wacana kontroversi dan perdebatan ditengah
masyarakat namun kondisi ini haruslah dianggap sebagai bagian dari dinamika
masyarakat dan bejana ukur untuk melihat tingkat kesadaran hukum
masyarakat.
Perkara pengujian UU menjadi perkara yang paling
banyak diterima oleh MK. Menurut data dari perkembangan perkara pengujian UU,
secara keseluruhan telah diterima sebanyak 370 perkara. Dari keseluruhan
penerimaan perkara tersebut, MK telah memutus sebanyak 321 perkara dan
mengabulkan 85 diantaranya. (lihat tabel
1)
tabel 1.
Rekapitulasi Perkara Pengujian
Undang-Undang Terhadap UUD, Tahun 2003 s.d 05 Juli 2011
No.
|
Tahun
|
|
Terima
|
Jumlah
|
Putus
|
Ketetapan
|
Jumlah
Putusan
|
||
Kabul
|
Tolak
|
Tidak
Diterima
|
Tarik
Kembali
|
||||||
1
|
2003
|
|
24
|
24
|
0
|
0
|
3
|
1
|
4
|
2
|
2004
|
|
27
|
47
|
11
|
9
|
11
|
4
|
35
|
3
|
2005
|
|
25
|
37
|
10
|
14
|
4
|
0
|
28
|
4
|
2006
|
|
27
|
36
|
8
|
8
|
11
|
2
|
29
|
5
|
2007
|
|
30
|
37
|
4
|
11
|
7
|
5
|
27
|
6
|
2008
|
|
36
|
46
|
10
|
12
|
7
|
5
|
34
|
7
|
2009
|
|
78
|
90
|
15
|
17
|
12
|
7
|
51
|
8
|
2010
|
|
81
|
120
|
18
|
22
|
16
|
5
|
61
|
9
|
2011
|
|
42
|
101
|
9
|
13
|
23
|
7
|
52
|
Jumlah
|
370
|
-
|
85
|
106
|
94
|
36
|
321
|
b.
Memutus
Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara
Salah satu dampak dari perubahan konstitusi adalah
dihapuskannya konsep lembaga tertinggi negara. MPR difungsikan sebagai lembaga
negara setara dengan lembaga-lembaga negara lain yang disebut dalam konstitusi.
Imbas dari tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara adalah kebutuhan untuk
mengatur mekanisme bilamana ada sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Fungsi konstitusi adalah memandatkan tugas dan
kewenangan kepada lebaga-lembaga negara secara seimbang serta menciptakan
mekanisme kontrol antar lembaga-lembaga tersebut. Paling tidak, itulah ide
dasar dari konstitusionalisme yaitu menciptakan aturan main dalam pelaksanaan
sistem ketatanegaraan yang tertuang dalam konstitusi. Aturan konstitusional tersebut
mendiskripsikan kewenangan dari masing-masing lembaga dengan tujuan untuk
membatasi kemungkinan penggunaan kewenangan dan kekuasaan secara semena-mena.
Dalam kutipan klasik yang telah menjadi demikian populer dari Lord Acton secara
tepat mengatakan bahwa “power tends to
corrupt”. Maka, untuk meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan, aturan main ketatanegaraan dalam pengaturan konstitusional dibuat
segamblang mungkin.
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa masih ada lubang untuk kemungkinan bahwa akan ada tumpang
tindih atau perebutan kewenangan antar lembaga negara. Hal ini, dimungkinkan karena adanya interpretasi berbeda dalam
menafsirkan kewenangan konstitusional oleh masing-masing lembaga negara. Bila
masing-masing lembaga berhak untuk menafsirkan ketentuan konstitusional akan
tugas dan kewenangannya maka yang terjadi adalah adanya kemungkinan untuk
berkelindannya tugas antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. Saling tarik menarik kewenangan akan menciptakan
sistem ketatanegaraan tidak berjalan dengan lancar. Contohnya adalah tarik
menarik kewenangan antara DPD yang tidak dilibatkan dalam pemberhentian dan
pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan oleh DPR ditahun 2004.[8]
Oleh
sebab itu, diberikannya kewenangan
untuk memutus sengketa antar lembaga negara kepada Mahkamah
Konstitusi adalah untuk melerai perselisihan
yang terjadi. Sifat kelembagaan MK
sebagai lembaga peradilan untuk memutus sengketa adalah
tepat, karena lembaga peradilan haruslah menjunjung tinggi prinsip independensi
dan netralitas. Selain itu, proses penyelesaian sengketa kewenangan lembaga
negara juga merupakan bagian dari proses penafsiran konstitusi atas mandat
kewenangan konstitusional yang diberikan pada tiap-tiap lembaga negara. Secara tidak langsung, dalam memutus sengketa
kewenangan lembaga negara, MK akan mendalami dan menafsirkan ketentuan
konstitusional yang menjadi focal point dari
perselisihan antar lembaga negara tersebut. Dengan demikian, perselisihan antar
lembaga karena adanya beda tafsir dari masing-masing lembaga diselesaikan oleh
MK dengan memberikan tafsir resmi atas ketentuan konstitusional untuk melerai
sengketa. Hal ini sejalan dengan peranan MK untuk menjaga nilai-nilai
konstitusi.
Dalam
rangka penanganan perkara sengketa kewenangan lembaga negara, hingga kini MK
telah menerima 15 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut, MK telah memutus
sebanyak 13 perkara dan tidak ada satu putusan dari MK yang mengabulkan
permohonan pemohon. (lihat tabel 2)
tabel 2.
Rekapitulasi
Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Tahun 2003
S.D 05 Juli 2011
No. |
Tahun
|
|
Terima
|
Putus
|
Jumlah
Putusan
|
|||
Kabul
|
Tolak
|
Tidak
Diterima
|
Tarik
Kembali
|
|||||
1
|
2003
|
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
2004
|
|
1
|
0
|
1
|
0
|
0
|
1
|
3
|
2005
|
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
2006
|
|
4
|
0
|
0
|
2
|
1
|
3
|
5
|
2007
|
|
2
|
0
|
1
|
1
|
0
|
2
|
6
|
2008
|
|
3
|
0
|
0
|
2
|
2
|
4
|
7
|
2009
|
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
8
|
2010
|
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
9
|
2011
|
|
3
|
0
|
0
|
2
|
0
|
2
|
|
15
|
0
|
2
|
8
|
3
|
13
|
c.
Memutus pembubaran partai
politik
Partai politik digadang sebagai wahana kontemporer yang
paling pas untuk menunjang sistem demokrasi. Namun disisi lain, negara pun
harus mengatur kebebasan berserikat dan mengungkapkan pendapat sebagai hak
konstitusional partai politik. Ukuran yang diterapkan negara untuk “mengatur”
hak dan kebebasan partai politik haruslah dalam porsi yang tepat, sehingga
aturan tersebut tidak untuk “menekan” atau tidak pula terlalu “longgar”. Aturan
itu harus dibuat dalam ukuran porsi konstitusional sesuai dengan bejana
ketentuan Konstitusi. Disinilah peran MK untuk mencari keseimbangan antara hak
konstitusional partai politik untuk mengekspresikan kebebasan berserikat dan
berkumpul dengan kebijakan negara untuk mengatur sistem kepartaian dan mencari
format demokrasi yang baik bagi jalannya roda pemerintahan.
Dengan berkembangnya ide
konstitusionalisme, konstitusi menjadi sumber utama untuk melihat bagaimana
pola rancang-bangun partai politik itu disusun dalam norma-norma konstitusi.
Namun, merancang bangun atau mengatur
partai politik bukanlah hal yang mudah sebab karakter dasar unik yang
dimiliki oleh partai politik. Pencantuman kata “partai politik” atau bahkan
pengaturan partai politik secara eksplisit, di konstitusi beberapa negara,
telah mengukuhkan pengakuan konstitusional akan peranan dan kedudukan partai
politik pada sistem ketatanegaraan. Kedudukan partai politik yang pengaturannya
-atau paling tidak hanya peranannya- disebut dalam konstitusi serta peranan
idealnya dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa partai politik memiliki
kedudukan konstitusional yang tinggi dalam sistem ketatanegaraan.
Disisi lain, dengan adanya MK sebagai
lembaga yang berwenang memutus pembubaran partai politik maka pemerintah tidak
dapat secara sepihak atau sewenang-wenang membubarkan partai politik yang
merupakan pengejawantahan dari kebebasan berekspresi untuk berserikat dan
berkumpul dari setiap warga negara. Namun, hak prerogatif tetap dimiliki oleh
pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang berhak berlaku sebagai pemohon.
Dalam pengajuan permohonan pembubaran partai politik, pemerintah harus
menyebutkan secara jelas dalam permohonannya bahwa ideologi, tujuan, asas,
program atau kegiatan yang dilakukan oleh partai politik telah melanggar
nilai-nilai konstitusi. Bayangkan, bila kran pihak yang berhak menjadi pemohon
dibuka sebesar-besarnya maka internal kader partai yang berseteru dapat saja
mengajukan pembubaran partai politik ke MK atau juga lawan politik dari partai
politik yang saling bersitegang.
d.
Memutus perselisihan hasil
pemilihan umum
Mahkamah
Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi juga adalah pengawal demokrasi.
Kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang
dimandatkan konstitusi mencerminkan bahwa MK adalah pengawal demokrasi.
Ketidakpuasan
para peserta pemilu atas penghitungan hasil suara yang diputuskan oleh Komisi
Pemilihan Umum dapat disalurkan melalui Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya,
prosedur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilu ini tidak dikenal
dalam sistem pemilu Indonesia. Perubahan konstitusi kemudian mengakomodasi
mekanisme banding atas kesalahan penghitungan hasil suara pemilu dengan
membebankan kewenangan tersebut diatas pundak Mahkamah Konstitusi.
Pemilihan umum di Indonesia yang diselenggarakan rutin, setiap 5
(lima) tahun sekali, adalah untuk memilih anggota legislatif dan Presiden. Yang
disebutkan dengan anggota legislatif adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik
di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pemilihan anggota legislatif ini dilakukan
secara serentak. Peserta pemilu adalah partai politik (untuk pemilihan anggota
DPR dan DPRD) dan perseorangan (untuk pemilihan anggota DPD).
Namun, MK tidak hanya berkutat dalam urusan mengadili sengketa hasil pemilu legislatif dan Presiden. MK juga mengadili sengketa hasil pemilu kepala daerah
(pemilukada). Dalam putusan MK nomor 41/PHPU.D-VI/2008
tentang Permohonan Keberatan atas Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30
Tahun 2008 tanggal 11 November tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008, diungkapkan bahwa
:
“Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang
diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu
harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada…”
Sejak
ditetapkannya Undang- undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perselisihan hasil
pemilukada yang semula menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA) dialihkan ke MK
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UU tersebut ditetapkan. Untuk
melaksanakan pasal 236C UU tersebut, Ketua MA dan Ketua MK menandatangani
Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, pada 29 Oktober 2008. Dengan
demikian, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada baru berjalan
efektif sejak pelimpahan kewenangan dari MA tersebut.
Sejak
tahun 2008, penyelesaian perselisihan hasil pemilukada telah banyak menyita
perhatian dan konsentrasi dari MK. Hal ini disebabkan oleh sempitnya waktu yang
dibatasi oleh UU untuk penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK, yaitu
selama 14 hari kerja. Secara keseluruhan, ada 337 perkara penyelesaian sengketa
hasil pemilukada yang diterima MK sejak tahun 2008 hingga saat ini (lihat tabel 3). Setiap perkara tersebut adalah
untuk wilayah provinsi, Kabupaten atau kota yang berbeda-beda. Bila menurut
data dari Departemen Dalam Negeri tahun 2010, jumlah Provinsi, Kabupaten dan
Kota di Indonesia ada 535, yang terdiri 33 Propinsi dan 532 gabungan Kabupaten
dan Kota, maka dapat diasumsikan bahwa
selama tiga tahun terakhir penyelenggaraan pemilukada di Indonesia, sekitar 60%
dari penyelenggaraan pemilukada, para peserta pemilu merasa tidak puas dengan
hasil penghitungan suara. Namun, bila mencermati putusan MK atas perkara
sengketa hasil pemilukada, hanya 36 dari 337 perkara dimana MK mengabulkan
permohonan pemohon. Ini berarti hanya kurang dari 5% dari keseluruhan perkara sengketa
pemilukada yang hasil akhir penghitungan pemilukada oleh KPUD dianulir oleh MK.
tabel 3.
Rekapitulasi
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pemilihan Kepala Daerah, Tahun 2003 s.d 05 Juli 2011
No.
|
Tahun
|
|
Terima
|
Putus
|
Putus
|
Jumlah Putusan
|
||
Kabul
|
Tolak
|
Tidak Diterima
|
Tarik Kembali
|
|||||
1
|
2008
|
|
27
|
3
|
12
|
3
|
0
|
18
|
2
|
2009
|
|
3
|
1
|
10
|
1
|
0
|
12
|
3
|
2010
|
|
230
|
26
|
149
|
45
|
4
|
224
|
4
|
2011
|
|
77
|
6
|
53
|
18
|
0
|
77
|
|
337
|
36
|
224
|
67
|
4
|
331
|
e.
Memutus pendapat DPR atas
pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden
Sebelum Perubahan UUD, mekanisme pertanggungjawaban
Presiden dan Wakil Presiden adalah kepada MPR. Dalam model ketatanegaraan lama,
dikonstruksikan bahwa Presiden adalah mandataris MPR. Presiden harus
menjalankan garis-garis besar program pembangunan yang disusun oleh MPR
sebagaimana dituangkan dalam GBHN. Bila presiden melanggar GBHN dan
ketetapan-ketetapan MPR lain maka Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan.
Kini, telah berlaku model mekanisme ketatanegaraan
baru dalam hal pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perubahan
UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih secara
langsung melalui pemilihan umum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat. DPR diberikan
peranan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam mejalankan fungsinya untuk
mengawasi pemerintah, DPR memiliki kewenangan untuk mengajukan pendapat untuk
pemberhentian Presiden. Alasan-alasan untuk pemberhentian Presiden ditetapkan
secara jelas dalam konstitusi. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan “… apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden”. Pendapat DPR tersebut diajukan kepada MPR dengan sebelumnya
diuji terlebih dahulu melalui forum hukum.[9] MK
menjadi forum hukum yang dipilih untuk menguji pendapat DPR tersebut. Pendapat
DPR yang diajukan beserta bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Aturan konstitusional
menjadi standar acuan bagi MK untuk memutus keabsahan pendapat tersebut apakah
terbukti secara hukum atau tidak. Dalam konteks ini, maka MK juga akan
melakukan penafsiran konstitusional atas hal-hal yang menjadi alasan atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Tidak dipungkiri bahwa
ada variabel-variabel yang menjadi ukuran konstitusional alasan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden itu amatlah “longgar” sehingga membutuhkan
proses penafsiran. Contohnya, tidak disebut secara jelas dalam aturan
konstitusional mengenai batasan yang dimaksud dengan “perbuatan tercela”. Bila
DPR mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan alasan
telah melakukan “perbuatan tercela” maka MK harus memberi tafsir konstitusional
atas definisi “perbuatan tercela” tersebut dan mengukur bukti-bukti yang
diajukan oleh DPR apakah memenuhi ukuran konstitusional bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan “perbuatan tercela”.
Dengan demikian, aturan konstitusional dapat
dijalankan secara konsisten dengan menciptakan mekanisme dan sistem yang
diperuntukkan sebagai penjaga konstitusi. MK adalah lembaga yang dimandakan
untuk melakukan peranan sebagai “penjaga”, namun tidak berarti bahwa MK menjadi
lembaga yang superior. Dalam konteks
kedudukan lembaga negara, sistem ketatanegaraan Indonesia dirancang agar
lembaga-lembaga negara memiliki posisi yang setara. Tidak ada lembaga negara
yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding lembaga negara konstitusional
lainnya. Dalam konteks peranan lembaga negara, masing-masing didesain untuk
memainkan peranan yang berbeda dalam kewenangan yang dibatasi oleh konstitusi.
MK bisa diibaratkan seperti seorang wasit dalam sebuah pertandingan olahraga.
Kedudukan wasit dikonstruksikan setara dengan atlet yang bermain namun memiliki
peranan yang berbeda dengan para atlet dilapangan.
SIMPULAN
Indonesia memiliki jati diri yang unik. Falsafah
Pancasila adalah wahana cara pandang bangsa Indonesia untuk melihat bangsa
Indonesia kedalam (antara negara dan rakyat) maupun keluar (dengan
negara-negara lain). Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945
menjadi ruh dari batang tubuh UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu
bangsa dipertahankan dan dijalankan dalam aturan konstitusi. Oleh karenanya,
penerapan aturan konstitusi secara konsisten bertujuan untuk menjaga dan
menciptakan keutuhan bangsa.
Bahaya inkonsistensi penerapan aturan konstitusi bisa
mengancam keutuhan bangsa. Bila peraturan perundang-undangan diterapkan tidak
selaras dengan nilai-nilai konstitusi maka kemungkinan akan terjadi chaos dan ketidakpastian hukum. Bila
tidak ada institusi yang memutus perselisihan hasil pemilu, kemungkinan
munculnya mobokrasi tidak terelakkan. Ketidakpuasan akan hasil pemilu, terlebih
bila pemilu itu diwarnai oleh pelanggaran dan kecurangan, dengan mudahnya akan
menyulut api perpecahan terutama di masyarakat Indonesia yang belum dewasa
dalam berdemokrasi.
Konsep konsistensi konstitusional selaras dengan
gagasan konstitusionalisme yang dianut UUD 1945. Ide konstitusionalisme
melandasi penyusunan sistem dan mekanisme ketatanegaraan yang dikonstruksikan
oleh UUD. Tiap-tiap lembaga negara diberikan mandat konstitusional berupa tugas
dan kewenangan yang menjadi peran yang harus dilaksanakannya.
MK diberikan kewenangan-kewenangan yang menjadikan
dirinya sebagai penjaga dan pengawal konstitusi. Kewenangan dan kewajiban MK
adalah dilakukan untuk menjaga aturan konstitusi. Penerapan UU harus tetap
dalam koridor konstitusi, bila ada UU yang menyimpang dari nilai konstitusional
maka MK menjadi lembaga yang meluruskannya; Perselisihan hasil pemilu harus
ditegakkan demi terjaganya nilai-nilai demokrasi konstitusional, MK menjadi
lembaga yang memastikan bahwa pelanggaran pemilu diselesaikan dan keadilan
pemilu ditegakkan; Pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai dengan
konstitusi agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara dalam
menerapkan kebebasan berserikat dan berkumpul; Sengketa kewenangan antar
lembaga negara harus diselesaikan dalam koridor konstitusional agar tiap-tiap
lembaga negara berperan dan berfungsi sebagaimana diatur oleh konstitusi; Dan
terakhir, pendapat DPR mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diputus oleh MK berdasarkan acuan dan ukuran
konstitusi sehingga hukum dan konstitusi menjadi pegangan utama dan bukan atas
dasar pertimbangan politis semata. Kesemuanya itu dijalankan MK sesuai mandat
konstitusi dan dilakukan untuk menjaga konsistensi konstitusional.
* Makalah disampaikan pada Program Pendidikan Reguler
Angkatan XLVI, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia,
Jakarta, 19 Agustus 2011.
[1] lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, Constitutionalism, http://plato.stanford.edu/entries/constitutionalism/#BM5, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011. Lihat juga Douglas H. Ginsburg, On
Constitutionalism, Cato Supreme Court Review, http://www.cato.org/pubs/scr/2003/constitutional.pdf, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011.
[2] Surat Permohonan sebagai Penceramah PPRA XLVI Lemhannas RI Kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi tertanggal 21 Juli 2011. Permohonan topik yang diajukan
adalah “Konsistensi Konstitusional untuk Menegakkan Supremasi Hukum dalam
Rangka Ketahanan Nasional”.
[3] Pasal 3 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan
Garis-garis besar daripada haluan negara”
[4] Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bagian tentang Sistem
Pemerintahan Negara bahagian III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die
Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis)
[5] Lihat Pasal 5 ayat (1), Pasal 7C, Pasal 11, Pasal 20 ayat (2) sampai (5), dan
Pasal 22 UUD 1945.
[6] Pasal 51 ayat (1) mengatur bahwa “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu:
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.”
[7] Putusan perkara nomor 011-017/PUU-I/2003 diputus tanggal 24 Februari
2004, Dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004, Terbit
hari Selasa tanggal 2 Maret 2004. Putusan ini membatalkan keberlakuan pasal 60
huruf g UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD.
[8] Lihat putusan MK nomor 068/SKLN-II/2004 diputus tanggal 12 November 2004.
Sebagai catatan, Presiden, juga merupakan termohon dalam perkara ini. Karena
Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 185/M Tahun 2004 tentang Pemberhentian Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan Periode 1999-2004 dan Pengangkatan Anggota Badan
Pemeriksa Keuangan Periode 2004-2009 yang menjadi obyek
sengketa dalam perkara ini.
[9] Lihat Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”