Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Selama 4 kali
berturut-turut bangsa kita telah menyelesaikan agenda perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dengan Perubahan Pertama pada
tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001,
dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dengan adanya perubahan-perubahan empat
kali itu, jumlah materi ketentuan yang semula hanya terdiri atas 71 butir
ketentuan atau 71 butir rumusan ayat atau pasal, bertambah menjadi 199 butir
ketentuan. Dalam keseluruhan materi ketentuan yang berjumlah 199 butir itu,
hanya 25 butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan atau masih sebagaimana
aslinya pada saat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan selebihnya
sebanyak 174 butir merupakan materi ketentuan yang sama sekali baru. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hanya dengan empat kali perubahan, meskipun
nama Undang-Undang Dasar ini masih menggunakan nama lama, tetapi isinya telah
mengalami perubahan mendasar dalam jumlah yang berlipat-lipat ganda, yaitu 25
berbanding 174 butir ketentuan.
Hal yang juga sangat
penting diperhatikan dalam rangka perubahan-perubahan itu ialah bahwa sekarang,
konstitusi yang diberi nama resmi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
disingkat UUD 1945 ini, menyediakan mekanisme agar norma-norma hukum dasar yang
terkandung di dalamnya dapat dijalankan diawasi pelaksanaannya oleh lembaga
peradilan yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah lembaga yang menetapkan dan/atau mengubah Undang-Undang Dasar, tetapi
setelah ditetapkan Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk mengawalnya.
Bahkan jikalau sekiranya dalam rumusan ketentuan UUD itu terdapat kekurangan
atau ketidak-jelasan disana-sini, Mahkamah Konstitusi lah yang diberi
kewenangan untuk menentukan tafsir yang tepat mengenai hal itu. Karena itu,
Mahkamah Konstitusi di berbagai negara biasa disebut sebagai pengawal dan
penafsir konstitusi atau “the guardian
and the sole and the highest interpreter of the constitution”.
Hanya saja, harus
dipahami bahwa pelaksanaan pengawalan dan penafsiran Undang-Undang Dasar itu oleh
Mahkamah Konstitusi dilakukan bukan dengan cara yang tersendiri, melainkan
melalui media putusan atas perkara-perkara yang diadilinya. Yang dapat
diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara
konstitusi yang berkaitan (i) pengujian konstitusionalitas undang-undang; (ii)
sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara; (iii) perselisihan
hasil pemilihan umum; (iv) pembubaran partai politik; dan (v) pendapat DPR
dalam rangka penuntutan pertanggungjawaban untuk pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. Putusan-putusan dalam
perkara-perkara yang berkaitan dengan kelima jenis kewenangan Mahkamah
Konstitusi tersebut pada pokoknya merupakan wujud konkrit dari fungsi
pengawalan dan penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap
hukum dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.